Cari Blog Ini

Senin, 31 Mei 2010

Judul Buku: Kado untuk Bunda
Penulis: Aisya Putrianti, Andanti Ayunda Rachman, Andira Harjodipuro, Andriani Rizky, Dinda Gupitalaras, Fikriana Kusuma Andini, Hilda, Landhyta S.R.P, Mayang Kania, Nabila Astari, Syifa Alsakina, Viola Catalia, Wimala Puspa Enggaringtyas.
Tebal: 108 halaman
Tahun Terbit: 2007
Harga: Rp 19.500



Pengantar Penerbit

Cermin Jujur dalam Cerita Pendek Anak-Anak


Cerita pendek (cerpen) yang ditulis oleh empat belas siswa-siswi tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama ini merupakan karya terpilih yang sebelumnya memenangkan lomba penulisan cerpen di Yayasan Dian Didaktika, Cinere, Depok. Empat belas cerpen ini secara umum merefleksikan perasaan, pikiran, dan harapan seorang anak kepada lingkungan sekitarnya—orangtua, teman, guru, dan bahkan diri mereka sendiri. Segera terlihat kejujuran, kepolosan, kebersahajaan dan keluguan khas anak-anak (atau remaja) saat kita membaca cerita pendek-cerita pendek mereka.


Sebuah cerita yang ditulis dan dikarang oleh seorang anak kerapkali tampil lebih jujur, bernas, tanpa polesan rekayasa, dan apa adanya. Hal ini dapat dilihat bukan saja saat mereka marah atau kecewa, benci atau frustrasi, tapi juga kala mereka mengekspresikan gejolak isi hati mereka. Lihatlah bagaimana anak-anak mengeluhkan (atau memprotes) kesibukan orangtua mereka hingga tak sempat lagi mengantar anak-anak ke sekolah.


Dalam “Kasih Sayang Bunda”, misalnya, Fikriana Kusuma Andini, seorang siswa kelas VII SMP, menyampaikan kegundahan hatinya kepada teman-temannya karena Ibunya memberikan perhatian yang sangat besar hingga membuatnya kikuk lantaran dicap anak Mami. Namun saat Ibunya tenggelam dalam kesibukan kerja, sang anak justru merasa terbuang dan tak terperhatikan. Ada rasa kehilangan yang sangat saat Ibunya tenggelam dalam rutinitas kerja.


Kegundahan seorang anak atas kesibukan orangtua juga terbaca dalam

“Kemanakah Ibuku yang Dulu?” yang ditulis oleh Wimala Puspa Enggaringtyas. Barangkali kegundahan semacam ini juga dirasakan oleh puluhan ribu anak lain di Jakarta—sebuah kota metropolitan yang keras dan tak pernah tidur. Rutinitas kerja ternyata merenggut hak-hak anak dan sesungguhnya fenomena semacam ini—di mata anak-anak—adalah hal yang ganjil. Kesadaran bahwa anak-anak memiliki hak untuk disapa, ditegur, diperhatikan, dan dalam batas-batas tertentu juga dimanja, telah bertumbuh dalam diri anak. Pesannya jelas: sebagai orangtua, sepatutnya kita tak mengabaikan hak-hak mereka.


Sosok Ibu memang sosok yang tak tergantikan bagi anak-anaknya. Dalam “Api Berkobar, Ibuku Terbakar”, Viola Catalia melukiskan betapa besarnya jasa seorang Ibu kepada dirinya hingga saat Ibunya tewas dalam musibah kebakaran, ia seperti kehilangan segala-galanya. Langit seperti runtuh, dan dunia gelap gulita begitu api membakar tubuh Ibunya. Pesan moral serupa dapat pula dijumpai dalam “Ketika Ibu Sakit”, karangan Dinda Gupitararas, atau “Senyum Tasha”, karya Mayang Kania.


Barangkali karena itu pula, seorang anak kadang ingin memberikan kejutan

bagi Ibunya. Aisya Putrianti, misalnya, melalui “Kejutan Alya untuk Mama”, menceritakan seorang anak yang ingin memberikan hadiah istimewa kala Ibunya berulang tahun. Kejutan itu barangkali tak terlalu istimewa jika dilakukan oleh orang dewasa. Tapi lihatlah sosok Alya dalam cerita Aisyah tersebut. Saat hari ulang tahun Ibunya mendekat, ia tak punya uang untuk membelikan rok untuk Ibunya sebagai hadiah spesial. Kreativitas Alya diuji hingga akhirnya ia menemukan cara mengumpulkan uang, yaitu dengan menjual koleksi bros lamanya. Setelah menjual bros miliknya, akhirnya ia bisa memberikan kejutan bagi sang Ibu.


Pesannya jelas: seorang anak ingin membahagiakan orangtua mereka. Cara membahagiakan itu bisa melalui berbagai macam cara. Dalam “Akhirnya Alaya Berubah”, misalnya, Hilda menyajikan cerita menarik seputar perubahan-mencolok pada diri Alaya, tokoh utama dalam cerpennya. Semula Alaya adalah sosok yang abai terhadap tugas sekolah, acuh tak acuh, dan pemalas. Namun sebuah perubahan penting terjadi justru ketika ia tak mendapat sanksi apa pun dari kepala sekolah saat ia tidak mengerjakan pekerjaan rumah.

Mendadak sontak Alaya berubah: kini ia adalah sosok yang rajin, giat, dan patuh pada tugas yang diberikan guru sekolahnya. Sebuah perubahan yang akhirnya menghasilkan kejutan tak terbayangkan: mendapat nilai tertinggi di kelasnya. Sebuah prestasi yang akhirnya membuat kedua orangtuanya dan guru-guru di sekolahnya bangga.

Yang juga tak kalah membanggakan adalah telah tumbuhnya kepedulian dan kepekaan sosial anak pada diri mereka. Dalam “Berpuasa Seharian”, Andriani Rizky menyodorkan sebuah fakta sosial yang mungkin bagi kebanyakan orang luput dari perhatian. Adalah seorang bapak pengayuh becak yang tak berpuasa di siang hari di bulan Ramadhan. Melihat ini Bobby, tokoh dalam cerita Andriani Rizky tersebut, tak kuasa menumpahkan protesnya. Mari kita kutip dialog menarik dan menggugah antara Bobby dan bapak tukang becak.


“Bapak enggak puasa?” tanya Bobby heran. “Enggak, Dik. Bapak kan kerja berat. Capek,” sahut si bapak sambil minum. Bobby jadi semakin kehausan.

“Tapi bapak harus menghormati orang-orang yang berpuasa! Ini kan bulan Ramadhan, Pak,” kata Bobby lagi.

“Dik, bapak berpuasa bukan hanya di bulan Ramadhan. Bapak berpuasa setiap hari. Selama ini, selama bapak menjadi tukang becak, bapak selalu berpuasa. Seringkali tanpa berbuka karena penghasilan bapak tidak cukup untuk membeli makanan,” jelas bapak itu.


Dan apa yang dilakukan Bobby sesampainya di rumah? Ia segera berlari menuju dapur untuk mengambil makanan buat penarik becak. Dan tidak itu saja, ia juga meminta uang kepada Ibunya untuk diberikan kepada bapak itu. Sebuah cerita sederhana yang menyimpan banyak hal: kearifan, kepedulian sosial, religiusitas, dan keberpihakan pada orang-orang yang dilemahkan secara politik, ekonomi dan sosial (kaum mustadh’afîn dalam terminologi Al-Quran).


Kepedulian serupa juga dapat ditemui dalam cerpen berjudul “Anggi” karya Nabila Astari. Kepedulian dan kekompakan teman-temannya terlihat saat Anggi tak mampu membayar uang perpisahan kelas. Spontanitas anak-anak terlihat begitu mengetahui Anggi tak dapat membayar. Mereka kompak membantu: mereka ingin berbagi keceriaan kepada temannya yang tak mampu. Telah tumbuh pada diri mereka sebuah nilai hidup penting bahwa kebahagiaan dan keceriaan dalam dunia anak-anak adalah hak yang harus pula bisa dinikmati oleh teman-temannya.


Cerita pendek lain--“Arti Sebuah Kepercayaan” (Andanti Ayunda Rachman), “Pesan Sebuah Perpisahan” (Syifa Alsakina), “Sang Perusak Tanaman Teman” (Landhyta S.R.P), dan “Sebuah Pot Titipan Seorang Anak” (Andira Hardjodipuro), juga mengusung nilai-nilai kepercayaan, kejujuran, solidaritas, dan persaudaraan.


Selamat menikmati sebongkah kejujuran dan kepolosan dari nalar dan nurani anak-anak: jernih tanpa topeng buatan. Intriguing dan inspiring, membuat resah sekaligus menggugah! Selamat membaca.

Mustofa Muchdhor

Penerbit Aksara Pustaka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar